07 April 2018

SAYYED HOSSEIN NASR Juru Bicara Islam di Barat



Di belantara intelektualisme kontemporer, nama Sayyed Hossein Nasr terbentang. Dia ada di Timur, juga di Barat modern. Dimensi wawasannya jauh melampaui batas-batas disiplin ilmu: dari sains hingga tasawuf, dan dari sejarah klasik hingga percaturan pasca-modernisme. Lantaran kapasitasnya itu, banyak kalangan merujuknya sebagai "kamus hidup" pemikiran Islam kontemporer.

Tapi, siapakah sejatinya sosok yang sebagian karyanya beredar di Indonesia ini? Dilahirkan di Iran pada 1933, pendidikan dasar Nasr diselesaikan di kampung halamannya. Ayahnya yang ulama berpengaruh, mengirim Nasr belajar ke sejumlah ulama besar Iran, termasuk kepada Ayatullah Muhammad Husain Thabathaba'i (w.)(1889), selama 20 tahun. Usai menamatkan pendidikan menengahnya di Iran, Nasr melanjutkan pendidikan tingginya di Massachussets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat, dalam bidang sejarah sains, khususnya sains Islam hingga meraih gelar Bachelor of Science (B.Sc.). Dia lalu melanjutkan ke Harvard University pada bidang yang sama dan memperoleh gelar Ph.D. pada 1958.

Sejak itulah petualangan intelektualisme Nasr mewarnai kehidupannya. Berkat kapasitasnya itu pula, kiprah Nasr di dunia pemikiran dan akademis diperhitungkan. Dia misalnya (sepulang dari Harvard), diangkat sebagai guru besar sains dan filsafat Islam pada Universitas Teheran. Namanya makin melambung setelah dia dipercaya sebagai guru besar tamu di almamaternya, Harvard University (1962-1965), Saat itu, di Iran sendiri masih sangat jarang tokoh yang mengambil bidang seperti Nasr. Tidak heran, jika dia cepat berpengaruh dalam arus keilmuan di Iran.

Usai bertugas di AS, dia kembali ke lran dan dipercaya sebagai dekan pada Fakultas Sastra dan Seni Universitas Teheran. Pada saat yang sama, dia juga sebagai pembantu rektor universitas yang sama. Di masa kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi (1919-1980) Nasr termasuk pendiri Akademi Filsafat Iran, sekaligus sebagai presiden pertamanya. Selain itu, bersama Ayatullah Muthahari dan Ali Syari'ati, dia mendirikan lembaga lslam Husyaimiah lrsyad.

Pemikiran Nasr
Seperti terlihat dalam karya-karyanya, pemikiran Nasr sangat kompleks dan multidimensional. Dia mampu membahas berbagai topik, mulai dari sains Islam, filsafat, sufisme, perenialisme, sampai kepada masalah masalah yang dihadapi manusia dan peradaban modern saat ini. Menyimak pemikirannya tentang konformitas Islam dengan dunia modern misalnya, sebagian kalangan memasukkan Nasr sebagai pemikir neo-modernis



Menurut Nasr, manusia modern saat ini tengah dilanda krisis spiritualitas, Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad ke-18, kini dirasakan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu llahi. Itu sebabnya, kata Nasr, masalah paling akut yang dihadapi manusia modern bukan muncul dari situasi underdevelopment (keterbelakangan), tetapi justru dari ouerdevelopment.

Lebih dari itu, semua masalah dan krisis peradaban modern berakar dari polusi jiwa manusia yang muncul begitu manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi Ilahi dari kehidupannya. Dalam kenyataan itu, manusia modern mencoba "hidup dengan roti semata”, “membunuh" Tuhan dan menyatakan independensinya dari kehidupan akhirat. Mereka melakukan desakralisasi alam untuk kemudian mengeksploitasinya secara sewenang-wenang. Bagaimana umat Islam memandang hal ini?

Kaum Muslimin. kata Nasr, terpilah menjadi dua kelompok: (a) mereka yang terjebak dalam krisis dunia modern, dan (b) mereka yang tetap setia kepada nilai-nilai tradisional Islam. Kelompok terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan ritual agama, berpegang pada hukum Tuhan. Untuk itulah, demikian Nasr, tak ada jalan lain kecuali rasa takut akan Tuhan. Perasaan itu sebagai dasar kebajikan yang akan mengantarkan kepada Sang Tuhan. Tentu saja, kata Nasr, hal itu harus dibarengi dengan cinta pada Allah.

Secara jelas, Nasr memberi jalan solusi manusi modern, yakni jalan sufisme buat merengkuh Tuhan. Mengapa sufisme menjadi alternatif solusi? Tidakkah ada jalan lain yang lebih dari itu? Secara perlahan kekayaan lslam yang paling dalam dan peradabannya mulai menarik perhatian sejumlah besar pria dan wanita di Barat, pada waktu yang sama mengalirnya arus "pembaratan” mengancam benteng peradaban Islam itu sendiri," jawab Nasr.

Menurut Nasr, "lslam diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek sufisme,” karena, "itu juga akan menunjukkan bahwa hampir seluruh ajaran lslam tentang hal-hal yang bersifat metafisis dan gnosis (makrifah/hikmah) murni. Terutama sekali yang terdapat dalam bidang sufisme, dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan-kebutuhan intelektual manusia dewasa ini. Dalam bidang sufisme tersebut, kehadiran dimensi spiritual tampak, ltulah yang kemudian dapat memadamkan kehausan manusia dalam mencari Tuhan. Menurut Nasr, paham sufisme mempunyai tempat bagi masyarakat di Barat (modern), karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dan kini upaya pemenuhannya kian mendesak.

Karena itu, Nasr berpendapat, sufisme sangat penting disosialisasikan kepada Barat. Ini setidaknya terdapat tiga tujuan. Pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan pemahaman tentang aspek esoteris lslam, baik terhadap masyarakat lsam yang mulai melupakannya, maupun non lslam khususnya masyarakat Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris lslam, yakni sufisme adalah jantung ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tak lagi berdenyut maka keringlah aspek-aspek lain ajaran lslam.

Nasr tak melulu membela kebenaran ajaran yang dianutnya (Islam). Dia juga memberikan kritik tajam terhadap pemikiran-pemikiran modernis muslim seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, atau Sayyed Amer Ali, penulis buku The Spirit of lslam. Dalam pandangan Nasr, tokoh-tokoh ini adalah penyebar westernisasi dan sekularisme di Dunia Muslim. Mereka adalah orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak unsur-unsur ajaran dan warisan pemikiran Islam yang mereka pandang tidak sesuai dengan pemikiran dan perkembangan modern.


Modernisme yang mereka usung memang berbeda dengan apa yang dikampanyekan Nasr. "Berbeda konsep dan strategi." Modernisme-baru Nasr mengambil bentuk serta menghidupkan kembali Islam tradisional". Dalam kerangka ini, Nasr memahami tradisionalisme lslam sebagai kepenganutan yang teguh pada tradisi" yang suci dan mengandung kebijaksanaan perenial (abadi).

Muslim tradisional, katanya, adalah Muslim yang menerima Al Quran sepenuhnya sebagai firman Allah, baik dalam isi maupun bentuk: mengakui kutub al sittah (enam kitab kumpulan hadis standar); mengandung tasawuf atau tarikat sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan lslam; serta selalu berangkat dari realisme sesuai dengan norma-norma lslam dalam segi politik. Dalam konteks inilah, kembali kepada ajaran Islam yang murni menjadi kunci utama menjalani prosesi kehidupan profan menuju kebahagian ukhrawi kelak. Inilah yang diajarkan Nasr di tengah kehidupan hedonistis manusia sekarang ini.

Karya Nasr
Di tengah kesibukannya mengisi ceramah dan presentasi ilmiah, baik di Barat dan Timur, Nasr terus menyempatkan menulis buku. Baginya, buku adalah warisan paling berharga. Hingga kini, puluhan buku sudah dia tulis, di antaranya Three Moslem Sages (Tiga Muslim yang Bijak), ldeals and Realities in Islam, An Introductions to Islamic Cosmological Doctrines, Science and Civilization in Islam, Sufi Essays, An Anotated Bibliography of lslamic Science, Man and Nature. The Spiritual Crisis of Modern Man, lslam and The Plight of Modern Man; Islamic Science, An Illustrated Study.

Selain itu, dia juga menulis buku The Transcendent Theosophy of Sadr ad-Din Shirazi, Islamic Art and Spirituality, Need for a Secred Science, lslamic Life and Thought, Knowledge and The Sacred, The Islamic Philosophy of Science, A Young Muslim's Guide to The Modern World, dan Traditional lslam in The Modern World. Sebagian dari karya-karyanya itu telah dialihbahasakan ke Indonesia. Hingga kini Nasr tetap memilih menetap di Amerika. Selain di Almamaternya, dia juga mengajar di Temple University, Philadelpia dan George Washington University, Washington DC. 

Sumber : Ensiklopedi Tokoh Islam

No comments:

Post a Comment