Seseorang yang sukses menjadi pemimpin
di sebuah organisasi belum tentu sukses ketika memimpin organisasi lain. Karena
setiap organisasi memiliki karakter, ciri khas dan budaya tertentu.
Oleh karena itu harus ada
kesesuaian antara karakter pemimpin dengan budaya organisasi dan orang-orang
yang dipimpin. Kesesuaian ini akan melahirkan kepemimpinan yang efektif. Lalu
bagaimana caranya menjadi pemimpin yang efktif? Berikut akan dipaparkan satu-persatu.
Pertama, kesesuaian budaya
organisasi dengan pemimpin.
Seorang pemimpin harus menyesuaikan
budaya organisasi dengan karakternya. Kalau tidak, sulit bagi organisasi untuk berkembang.
Apalagi bila organisasi sudah dipengaruhi dan disetir oleh pihak luar, sehingga
tidak lagi berjalan sesuai dengan keinginan jajaran pimpinan.
Saat ini banyak organisasi yang
merupakan binaan sebuah partai politik. Sehingga tujuannya adalah demi
kepentingan partai tersebut. Organisasi tidak lagi punya karakter, budaya dan
kemandirian. Semua bergantun kepada organisasi yang mendanainya.
Orang-orang yang ada dalam
organisasi hanya berpikir kepentingan masing-masing. Organisasi hanya sebagai
alat mencapai tujuan pribadi. Kondisi semacam ini justru tidak akan membuat
orgnanisasi bertahan lama. Ketika tidak ada lagi suplai dana, organisasi bisa
bubar. Atau pindah ke penyandang dana lainnya dengan kepentingan yang berbeda.
Pada akhirnya anggota akan terpengaruh
dengan budaya dan karakter organisasi. Kalau budayanya sibuk dengan kepentingan
masing-masing maka semua anggota akan melakukan hal yang sama.
Sebaliknya bila organisasi
memiliki budaya dan karakter sendiri akan menimbulkan motivasi untuk maju dan
anggota pun akan nyaman bekerja. Karena budaya organisasi yang baik akan
membuat anggotanya bersungguh-sungguh dalam menjalankan setiap agenda organisasi.
Kedua, Followership.
Sebagaimana kita ketahui
kesuksesan sebuah organisasi tidak semata ditentukan oleh pemimpinnya tapi juga
oleh pengikutnya. Oleh karena itu pemimpin tidak perlu merasa sebagai atasan
yang selalu harus didahulukan dan diutamakan.
Pemimpin yang baik adalah
pengikut yang baik pula. Mustahil pemimpin akan berhasil tanpa dukungan dari
anggota. Pemimpin yang otoriter dan tidak menghargai pengikutnya akan menjadi
pemimpin yang superman, merasa hebat dan bisa mengerjakannya sendiri.
Apalagi ketika pengikutnya banyak
dari kalangan awam yang tidak bisa diajak berpikir dan berdiskusi, maka sang
pemimpin akan seenaknya memutuskan segala hal yang terkadang tidak
mempertimbangkan kepentingan anggotanya. Pengikut tidak lagi dijadikan sparring partner untuk berdebat tapi
sebagai hewan piaraan yang siap digiring ke manapun. Bahkan pemimpin memutuskan segala sesuatu sendirian tanpa
masukan dari anggota.
Padahal tanpa partisipasi dari
pengikut, pemimpin akan bersifat narsistik yang senang dipuji, disanjung dan enggan
dikritik. Dia lebih mementingkan pencitraan yang semu dari pada tindakan nyata.
Dia selalu ingin tampil di depan orang banyak sekadar untuk mendapat pujian dan
sanjungan. Bahkan dia tidak siap bila ada pengikutnya yang ingin menyainginya.
Ketiga, strategi dan eksekusi
Pemimpin lebih sering berhadapan
dengan persoalan-persoalan strategis yang dampaknya jangka panjang dan sangat
menentukan masa depan organisasi. Oleh karena
itu pemimpin tidak boleh larut dengan hal-hal teknis operasional. Dia harus
berani mendelegasikan kepada anggotanya. Namun demikian walaupun tugas itu sudah
didelegasikan dia tetap mengontrol apa saja yang sudah dilakukan dan apa yang
belum.
Jadi seorang pemimpin harus
memiliki dua strategi. Pertama. Menyusun strategi untuk meraih hasil yang sudah
ditetapkan. Kedua, mengeksekusi rencana yang sudah dibuat dengan mendelegasikannya.
Percuma rencana dibuat sangat bagus tapi eksekusinya jelek, maka hasilnya pun akan
jelek. Sama saja ibarat mengendarai mobil tapi bannya bocor.
Ciri pemimpin yang bisa
mengeksekusi rencananya dengan baik adalah pemimpin yang mampu memahami bawahannya,
memahami bisnisnya, berpijak pada realitas, serta menetapkan tujuan dan
prioritas yang jelas untuk dieksekusi dan ditindak lanjuti.
Dia juga memberikan penghargaan
bagi anggota yang berprestasi dan memberikan hukuman bagi yang melanggar aturan.
Namun demikian dia juga berusaha meningkatkan kemampuan anggotanya dalam
menjalankan berbagai kegiatan.
Kelima, kecerdasan emosi.
Pemimpin yang kurang empati, terlalu
mementingkan diri sendiri dan tidak memahami kebutuhan orang lain akan cepat
hancur. Ketidakmampuannya dalam mengelola hal ini akan menyebabkan dia gagal
sebagai pemimpin. Ini sekaligus menunjukkan tingkat kecerdasan emosinya.
Terkadang ada pemimpin yang cerdas
secara intelektual tapi lemah dalam memahami dinamika yang terjadi dalam
anggotanya. Sementara pemimpin yang baik akan mendapatkan dukungan dari
anggotanya sehingga mereka berkontribusi untuk memajukan organisasi dengan
tulus.
Mereka tidak akan segan-segan mengeluarkan
bakat dan pengetahuannya untuk organisasi. Bahkan imbalan materi bukan satu
satunya yang diharapkan dalam organsasi. Anggota terkadang sudah puas apabila
dia bisa berkontribusi untuk organisasi yang sama-sama memperjuangkan kepentingan
bersama. Sebaliknya pengikut yang tidak dihargai, komitmennya juga akan berkurang
sehingga bersikap antipati.
sumber : www.jakartaconsulting.com
No comments:
Post a Comment