04 May 2018

KUNCI MENJADI PEMIMPIN EFEKTIF


Seseorang yang sukses menjadi pemimpin di sebuah organisasi belum tentu sukses ketika memimpin organisasi lain. Karena setiap organisasi memiliki karakter, ciri khas dan budaya tertentu.

Oleh karena itu harus ada kesesuaian antara karakter pemimpin dengan budaya organisasi dan orang-orang yang dipimpin. Kesesuaian ini akan melahirkan kepemimpinan yang efektif. Lalu bagaimana caranya menjadi pemimpin yang efktif? Berikut akan dipaparkan satu-persatu.

Pertama, kesesuaian budaya organisasi dengan pemimpin.
Seorang pemimpin harus menyesuaikan budaya organisasi dengan karakternya. Kalau tidak, sulit bagi organisasi untuk berkembang. Apalagi bila organisasi sudah dipengaruhi dan disetir oleh pihak luar, sehingga tidak lagi berjalan sesuai dengan keinginan jajaran pimpinan.

Saat ini banyak organisasi yang merupakan binaan sebuah partai politik. Sehingga tujuannya adalah demi kepentingan partai tersebut. Organisasi tidak lagi punya karakter, budaya dan kemandirian. Semua bergantun kepada organisasi yang mendanainya.

Orang-orang yang ada dalam organisasi hanya berpikir kepentingan masing-masing. Organisasi hanya sebagai alat mencapai tujuan pribadi. Kondisi semacam ini justru tidak akan membuat orgnanisasi bertahan lama. Ketika tidak ada lagi suplai dana, organisasi bisa bubar. Atau pindah ke penyandang dana lainnya dengan kepentingan yang berbeda.

Pada akhirnya anggota akan terpengaruh dengan budaya dan karakter organisasi. Kalau budayanya sibuk dengan kepentingan masing-masing maka semua anggota akan melakukan hal yang sama.

Sebaliknya bila organisasi memiliki budaya dan karakter sendiri akan menimbulkan motivasi untuk maju dan anggota pun akan nyaman bekerja. Karena budaya organisasi yang baik akan membuat anggotanya bersungguh-sungguh dalam menjalankan setiap agenda organisasi.

Kedua, Followership.
Sebagaimana kita ketahui kesuksesan sebuah organisasi tidak semata ditentukan oleh pemimpinnya tapi juga oleh pengikutnya. Oleh karena itu pemimpin tidak perlu merasa sebagai atasan yang selalu harus didahulukan dan diutamakan.

Pemimpin yang baik adalah pengikut yang baik pula. Mustahil pemimpin akan berhasil tanpa dukungan dari anggota. Pemimpin yang otoriter dan tidak menghargai pengikutnya akan menjadi pemimpin yang superman, merasa hebat dan bisa mengerjakannya sendiri.

Apalagi ketika pengikutnya banyak dari kalangan awam yang tidak bisa diajak berpikir dan berdiskusi, maka sang pemimpin akan seenaknya memutuskan segala hal yang terkadang tidak mempertimbangkan kepentingan anggotanya. Pengikut tidak lagi dijadikan sparring partner untuk berdebat tapi sebagai hewan piaraan yang siap digiring ke manapun. Bahkan  pemimpin memutuskan segala sesuatu sendirian tanpa masukan dari anggota.

Padahal tanpa partisipasi dari pengikut, pemimpin akan bersifat narsistik yang senang dipuji, disanjung dan enggan dikritik. Dia lebih mementingkan pencitraan yang semu dari pada tindakan nyata. Dia selalu ingin tampil di depan orang banyak sekadar untuk mendapat pujian dan sanjungan. Bahkan dia tidak siap bila ada pengikutnya yang ingin menyainginya.

Ketiga, strategi dan eksekusi
Pemimpin lebih sering berhadapan dengan persoalan-persoalan strategis yang dampaknya jangka panjang dan sangat menentukan masa depan  organisasi. Oleh karena itu pemimpin tidak boleh larut dengan hal-hal teknis operasional. Dia harus berani mendelegasikan kepada anggotanya. Namun demikian walaupun tugas itu sudah didelegasikan dia tetap mengontrol apa saja yang sudah dilakukan dan apa yang belum.

Jadi seorang pemimpin harus memiliki dua strategi. Pertama. Menyusun strategi untuk meraih hasil yang sudah ditetapkan. Kedua, mengeksekusi rencana yang sudah dibuat dengan mendelegasikannya. Percuma rencana dibuat sangat bagus tapi eksekusinya jelek, maka hasilnya pun akan jelek. Sama saja ibarat mengendarai mobil tapi bannya bocor.

Ciri pemimpin yang bisa mengeksekusi rencananya dengan baik adalah pemimpin yang mampu memahami bawahannya, memahami bisnisnya, berpijak pada realitas, serta menetapkan tujuan dan prioritas yang jelas untuk dieksekusi dan ditindak lanjuti.

Dia juga memberikan penghargaan bagi anggota yang berprestasi dan memberikan hukuman bagi yang melanggar aturan. Namun demikian dia juga berusaha meningkatkan kemampuan anggotanya dalam menjalankan berbagai kegiatan.

Kelima, kecerdasan emosi.
Pemimpin yang kurang empati, terlalu mementingkan diri sendiri dan tidak memahami kebutuhan orang lain akan cepat hancur. Ketidakmampuannya dalam mengelola hal ini akan menyebabkan dia gagal sebagai pemimpin. Ini sekaligus menunjukkan tingkat kecerdasan emosinya.

Terkadang ada pemimpin yang cerdas secara intelektual tapi lemah dalam memahami dinamika yang terjadi dalam anggotanya. Sementara pemimpin yang baik akan mendapatkan dukungan dari anggotanya sehingga mereka berkontribusi untuk memajukan organisasi dengan tulus.

Mereka tidak akan segan-segan mengeluarkan bakat dan pengetahuannya untuk organisasi. Bahkan imbalan materi bukan satu satunya yang diharapkan dalam organsasi. Anggota terkadang sudah puas apabila dia bisa berkontribusi untuk organisasi yang sama-sama memperjuangkan kepentingan bersama. Sebaliknya pengikut yang tidak dihargai, komitmennya juga akan berkurang sehingga bersikap antipati.
sumber : www.jakartaconsulting.com

No comments:

Post a Comment