10 April 2018

GHIRAH, CEMBURU KARENA AGAMA



Kecemburuan (Ghirah) biasanya dikaitakan pada dua hal, yaitu soal perempuan dan soal Agama. Pada tulisan berikut ini kita akan bahas cemburu yang dikaitkan dengan agama.

Islam sendiri mengajarkan tasamuh, lapang dada dan toleransi. “Laa Ikraha fid Diin”, tidak ada paksaan dalam perkara agama.

Bahkan masuknya Islam ke Indonesia tidak dengan kekerasan. Hilangannya pengaruh agama terdahulu seperti Hindu dan Budha bukan karena desakan senjata. Namun karena ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat disebabkan ajaran persaudaraan dan persamaan yang ada di dalamnya.

Begitu juga ketika agama Kristen masuk bersamaan dengan masuknya penjajah, beberapa daerah yang penduduknya mayoritas Islam dapat hidup rukun dengan pemeluk agama Kristen, seperti di Sipirok dan Ambon.

Namun, “Agama kami jangan dihinakan, jangan disinggung perasaan kami. Kalau kami tersinggung kami tidak tahu lagi apa yang kami musti kerjakan, kami lupa kelemahan kami. Kami lupa tak bersenjata, kami mau mati tuan dan tuan boleh tembak!” begitu ujar Hamka dalam salah satu tulisannya.

Itulah yang terjadi ketika Tuanku Imam Bonjol bermaksud hendak mengundurkan dirinya dari medan perang. Setelah melihat mesjid dijadikan kandang kuda oleh Belanda, beliau tidak jadi mengundurkan diri. Walau sudah tua dia kembali ke medan perang. Dia tidak peduli lagi apakah akan kalah atau menang, apakah akan hidup atau mati. Justru kalau tidak melawan itulah yang disebut mati. Karena sudah tidak ada lagi ghirah. orang Islam tidak fanatik! Tetapi tidak pula dayust (tebal kuping dan tebal muka).


Propaganda Belanda
Ketika Belanda berkuasa dibuatlah propaganda bahwa orang Islam itu fanatik! Sehingga orang yang terdidik dengan cara Belanda merasa dirinya rendah kalau kelihatan fanatik. Bahkan dia ikut ikutan menuduh bangsanya kaumnya fanatik!

Diponegoro hendak mendirikan Kerajaan Islam di Jawa dituduh fanatik! Imam Bonjol dengan gerakan Paderinya menentang penjajah selama 16 tahun dituduh fanatik! Perlawanan Cik Ditiro di Aceh selama 40 tahun, dituduh fanatik! Bahkan selama ummat Islam belum mau menerima penjajahan, selama itu pula mereka dicap fanatik.

Cap fanatik baru hilang kalau ghirah agamanya sudah hilang, baik dalam diri maupun dalam masyarakatnya. Dia akan dianggap toleran dan moderat kalau dia sudah mulai mengabaikan ajaran agamanya, dia akan dianggap sebagai orang yang luas pemahamannya. Apalagi kalau dia sudah berani menjelek-jelekkan ulama dan lembaga pesantren.

Padahal Pesantren adalah sumber kekuatan Islam di Indonesia. Orang yang tidak senang dengan islam berusaha menghilangkan pengaruhnya dengan memberikan cap fanatik kepada pesantren. Padahal pondok pesantren menjadi markas perjuangan umat islam pada masa penjajahan. Pesantren adalah tiangnya islam di indonesia.

Untuk menghilangkan pengaruh pesantren di Indonesia Pemerintah Kolonial bahkan mengirim orientalis bernama Prof. Snouck Hurgronye ke Aceh untuk menyelidiki kekuatan islam dan pesantren. Bahkan dia sempat ziarah ke Mekkah dan menukar namanya dengan Abdul Gaffar Snauk al Hulandy.

Inilah awal mula diterapkannya konsep netral agama dalam sistim pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah Kolonial yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.


Ghirah tidak akan hilang
Fanatik itu tidak akan pernah hilang. Kalau umat Islam tersinggung lantaran agamanya dihinakan mereka akan melawan dan menentang. Bahkan dalam lslam diajarkan, dermawan dengan nyawa (syahid) adalah puncak tujuan kedermawanan.

Ummat Islam memiliki Muruah (harga diri). Muruah sendiri terbagi tiga: Pertama, Syajaah (berani), kedua, wafaa (Setia), ketiga, Karam (dermawan atau Al juud).

Orang boleh saja menuduh kaum Muslimin itu fanatik tapi orang tidak akan bisa memungkiri bahwa fanatik umat lslam itu adalah modal terbesar dalam kemerdekaan Indonesia. Namun hakikatnya bukanlah fanatik tapi ghirah, cemburu karena agama islam dihinakan. Menjaga tanah air adalah bagian dari perintah agama maka memerdekakan bangsa ini adalah perintah agama.  Ghirah sendiri diwarisi turun temurun dari nenek turun ke ayah. Dari ayah turun ke anak dan dari anak turun ke cucu.

Umat islam toleran dalam urusan muamalah dengan umat lain. Tapi kalau agama islam diejek, Nabi Muhammad dihina, dikatakan islam agama impor dari Arab-padahal tidak satu agama pun di Indonesia ini yang bukan impor, maka ghirahnya akan bangkit.

Kalau lslam dihinakan dan kita diam saja itu namanya dayust. Tidak ada rasa cemburu. Sama saja bila kita diam ketika istri kita dirayu orang atau ibu dan saudara perempuan kita diganggu orang, lebih baik mati saja dari pada hidup.*

(Sumber : Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam)

No comments:

Post a Comment