Kecemburuan
(Ghirah) biasanya
dikaitakan pada dua hal, yaitu soal perempuan dan soal Agama. Pada tulisan berikut ini kita akan bahas cemburu yang dikaitkan dengan agama.
Islam sendiri
mengajarkan tasamuh, lapang
dada dan toleransi. “Laa Ikraha fid Diin”, tidak ada paksaan
dalam perkara agama.
Bahkan masuknya Islam ke
Indonesia tidak dengan kekerasan. Hilangannya pengaruh agama terdahulu
seperti Hindu dan Budha bukan karena desakan senjata. Namun
karena ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat disebabkan ajaran persaudaraan
dan persamaan
yang ada di dalamnya.
Begitu juga ketika agama Kristen masuk bersamaan
dengan masuknya penjajah, beberapa daerah yang penduduknya mayoritas Islam dapat hidup rukun
dengan pemeluk agama Kristen, seperti
di Sipirok dan Ambon.
Namun, “Agama
kami jangan dihinakan, jangan disinggung perasaan kami. Kalau kami tersinggung
kami tidak tahu lagi apa yang kami musti kerjakan, kami lupa kelemahan kami. Kami lupa tak
bersenjata,
kami mau mati tuan dan tuan boleh tembak!” begitu ujar Hamka dalam salah satu tulisannya.
Itulah yang terjadi ketika Tuanku Imam Bonjol bermaksud hendak mengundurkan dirinya dari medan
perang. Setelah
melihat mesjid dijadikan kandang kuda oleh Belanda, beliau tidak jadi mengundurkan diri. Walau sudah tua
dia kembali ke medan perang. Dia tidak peduli lagi apakah
akan kalah atau menang, apakah akan hidup atau mati.
Justru kalau tidak melawan itulah yang disebut mati. Karena sudah tidak ada
lagi ghirah. orang Islam tidak fanatik! Tetapi tidak pula dayust (tebal kuping dan tebal muka).
Propaganda Belanda
Ketika Belanda
berkuasa dibuatlah propaganda bahwa orang Islam itu fanatik! Sehingga orang yang terdidik dengan cara Belanda merasa
dirinya rendah kalau kelihatan fanatik. Bahkan dia ikut ikutan menuduh bangsanya kaumnya
fanatik!
Diponegoro hendak mendirikan Kerajaan Islam di Jawa dituduh
fanatik! Imam Bonjol dengan gerakan Paderinya menentang penjajah selama 16 tahun dituduh fanatik!
Perlawanan Cik Ditiro di Aceh selama 40 tahun, dituduh fanatik! Bahkan selama ummat Islam belum
mau menerima penjajahan, selama itu pula mereka dicap fanatik.
Cap fanatik baru hilang kalau ghirah agamanya sudah hilang, baik dalam diri maupun dalam
masyarakatnya. Dia akan dianggap
toleran dan moderat kalau dia sudah mulai mengabaikan ajaran agamanya, dia akan
dianggap sebagai orang yang luas pemahamannya. Apalagi kalau dia sudah berani
menjelek-jelekkan ulama dan lembaga pesantren.
Padahal Pesantren adalah sumber kekuatan
Islam di Indonesia. Orang yang
tidak senang dengan islam berusaha menghilangkan pengaruhnya dengan memberikan
cap fanatik kepada pesantren. Padahal pondok pesantren
menjadi markas perjuangan umat
islam pada masa penjajahan. Pesantren adalah tiangnya islam di indonesia.
Untuk menghilangkan pengaruh pesantren di Indonesia Pemerintah Kolonial bahkan mengirim orientalis bernama Prof. Snouck Hurgronye ke Aceh untuk menyelidiki kekuatan islam dan
pesantren. Bahkan dia sempat ziarah ke Mekkah dan menukar namanya
dengan Abdul Gaffar Snauk al Hulandy.
Inilah awal
mula diterapkannya konsep netral agama dalam sistim pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah
Kolonial yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.
Ghirah tidak akan hilang
Fanatik itu tidak akan pernah hilang. Kalau umat
Islam tersinggung lantaran agamanya dihinakan mereka akan melawan dan menentang. Bahkan dalam lslam diajarkan,
dermawan dengan nyawa (syahid) adalah puncak tujuan kedermawanan.
Ummat Islam memiliki
Muruah (harga
diri). Muruah sendiri
terbagi tiga: Pertama, Syaja’ah (berani), kedua, wafaa
(Setia), ketiga, Karam (dermawan atau Al juud).
Orang boleh saja menuduh kaum Muslimin itu fanatik tapi orang tidak akan bisa memungkiri bahwa fanatik umat lslam itu
adalah modal terbesar dalam kemerdekaan Indonesia. Namun hakikatnya
bukanlah fanatik tapi ghirah, cemburu karena agama islam dihinakan. Menjaga
tanah air adalah bagian dari perintah agama maka memerdekakan bangsa ini adalah
perintah agama. Ghirah
sendiri diwarisi
turun temurun dari nenek turun ke ayah. Dari ayah turun ke anak dan dari anak
turun ke cucu.
Umat islam toleran dalam urusan
muamalah dengan umat lain. Tapi kalau agama islam diejek, Nabi Muhammad dihina, dikatakan islam agama impor dari Arab-padahal tidak satu agama
pun di Indonesia ini yang bukan impor, maka ghirahnya akan bangkit.
Kalau lslam dihinakan dan kita diam saja itu namanya dayust.
Tidak ada rasa cemburu. Sama saja bila kita diam ketika istri kita dirayu orang
atau ibu dan saudara perempuan kita diganggu orang, lebih baik mati saja dari
pada hidup.*
(Sumber : Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam)
No comments:
Post a Comment