26 November 2011

Spiritual Entrepreneur dan Dunia Usaha


Saat ini marak terjadi pemogokan buruh di berbagai pabrik dan perusahaan. Namun, di lapangan yang terjadi justru saling menyalahkan. Pihak perusahaan menyalahkan buruh yang banyak tuntutan dan permintaan. Sedangkan pihak buruh menyalahkan pihak manajemen perusahaan yang tidak memenuhi janji-janjinya. Situasi ini diduga oleh beberapa kalangan sebagai penyebab hengkangnya beberapa perusahaan besar dari Indonesia.

Padahal di setiap perusahaan tentu ada lembaga dan aturan yang bisa menjembatani hubungan antara perusahaan dan buruh. Apakah serikat buruh, kegiatan keagamaan, atau kegiatan sosial. Namun, sarana itu ternyata tidak cukup efektif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan buruh dan majikan. Program-program yang mengacu kepada kemitraan, kerjasama, kedamaian, dan rasa memiliki satu sama lain, kurang berjalan efektif sehingga berujung pada pemogokan dan demo buruh.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menoleh kepada peningkatan kecerdasan spiritual dalam dunia usaha. Para pemilik perusahaan dan buruh dianjurkan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, dimana dalam menjalankan usaha tidak hanya mengacu kepada keuntungan-keuntungan materi semata, tapi benar-benar mengacu kepada keadilan dan sikap saling menguntungkan. Kecerdasan spiritual yang merupakan kecerdasan tertinggi setelah kecerdasan intelegensi, emosional dan adversity harus dimiliki oleh kedua belah pihak, baik pemilik perusahaan maupun buruh.

Kecerdasan spiritual yang dimaksud di sini adalah penerapan nilai-nilai spiritual yang universal dalam setiap bidang kehidupan terutama dalam dunia usaha. Spiritualitas jangan hanya ada di masjid dan pengajian-pengajian tapi juga harus ada di ruang-ruang manajemen dan ruang rapat direksi. Harapannya nilai-nilai spiritualitas mewarnai setiap aktifitas dunia usaha. Tanpa dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual, maka pandangan hidup manusia hanya akan dibimbing oleh keinginan-keinginan yang bersifat materi dan rendahan. Namun, ketika dikaitkan dengan nilai spiritual maka orang-orang yang ada di perusahaan mulai berpikir sesuatu yang lebih hakiki dan bermakna sehingga tidak terjebak dengan hal-hal materi semata yang biasanya selalu berujung dengan pertikaian.

Menurut Theodore Rotzack, ada ruang spiritual dalam diri manusia yang harus diisi dengan hal-hal yang tinggi agar ruang itu tidak terisi oleh hal-hal yang bersifat lebih rendah yang ada dalam diri manusia. Hal ini didukung oleh hasil penelitian seorang pakar psikologi, Michael Persinger yang menemukan adanya Got spot dalam otak manusia yang built–in dalam pusat spiritual diantara jaringan syaraf dan otak. Artinya otak manusia punya kemampuan berkembang ke arah penemuan hal-hal yang fundamental dalam kehidupan.

Bahkan dari Penelitian ahli syaraf Austria, Wolf Singer mengenai the binding problem menemukan bahwa di dalam otak manusia terdapat proses syaraf yang terfokus pada upaya mempersatukan dan mem­beri makna pengalaman hidup, sehingga mampu mengaitkan dan mengikat pe­ngalaman manusia secara bersama-sama untuk hidup lebih bermakna.

Penerapan nilai-nilai spiritual di kalangan dunia usaha berpotensi untuk mempersatukan berbagai perbedaan latar belakang dan kepentingan menjadi lebih inklusif dan bersatu demi tujuan yang sama. Hal ini tentu harus diterapkan oleh berbagai stakeholder yang ada di perusahaan tersebut. Karena dari hasil penemuan konsep spiritual questiont dapat disimpulan bahwa berbagai keruwetan dan konflik yang terjadi antara buruh dan manajemen perusahaan disebabkan salah satunya oleh rendahnya spiritual questiont para pelaku usaha yang terlibat di dalamnya.

Untuk itu sudah saatnya nilai-nilai spiritual diterapkan dalam filosofi dan nilai-nilai organsiasi sehingga mewarnai visi misi dan tujuan perusahaan. Dengan ini diharakan konflik-konflik yang terjadi lebih mudah diredam. Wallahua’lam.

No comments:

Post a Comment