Di belantara intelektualisme
kontemporer, nama Sayyed Hossein Nasr terbentang. Dia ada di Timur, juga di
Barat modern. Dimensi wawasannya jauh melampaui batas-batas disiplin ilmu: dari
sains hingga tasawuf, dan dari sejarah klasik hingga percaturan
pasca-modernisme. Lantaran kapasitasnya itu, banyak kalangan merujuknya sebagai
"kamus hidup" pemikiran Islam kontemporer.
Tapi, siapakah sejatinya
sosok yang sebagian karyanya beredar di Indonesia ini? Dilahirkan di Iran pada
1933, pendidikan dasar Nasr diselesaikan di kampung halamannya. Ayahnya yang ulama berpengaruh, mengirim Nasr belajar
ke sejumlah ulama besar Iran, termasuk kepada Ayatullah Muhammad Husain
Thabathaba'i (w.)(1889), selama 20 tahun. Usai menamatkan pendidikan
menengahnya di Iran, Nasr melanjutkan pendidikan tingginya di Massachussets
Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat, dalam bidang sejarah sains,
khususnya sains Islam hingga meraih gelar Bachelor of Science (B.Sc.). Dia lalu
melanjutkan ke Harvard University pada bidang yang sama dan memperoleh gelar
Ph.D. pada 1958.
Sejak itulah petualangan
intelektualisme Nasr mewarnai kehidupannya. Berkat kapasitasnya itu pula,
kiprah Nasr di dunia pemikiran dan akademis diperhitungkan. Dia misalnya
(sepulang dari Harvard), diangkat sebagai guru besar sains dan filsafat Islam
pada Universitas Teheran. Namanya makin melambung setelah dia dipercaya sebagai
guru besar tamu di almamaternya, Harvard University (1962-1965), Saat itu, di
Iran sendiri masih sangat jarang tokoh yang mengambil bidang seperti Nasr.
Tidak heran, jika dia cepat berpengaruh dalam arus keilmuan di Iran.
Usai bertugas di AS, dia
kembali ke lran dan dipercaya sebagai dekan pada Fakultas Sastra dan Seni
Universitas Teheran. Pada saat yang sama, dia juga sebagai pembantu rektor
universitas yang sama. Di masa kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi (1919-1980)
Nasr termasuk pendiri Akademi Filsafat Iran, sekaligus sebagai presiden
pertamanya. Selain itu, bersama Ayatullah Muthahari dan Ali Syari'ati, dia
mendirikan lembaga lslam Husyaimiah lrsyad.
Pemikiran Nasr
Seperti terlihat dalam
karya-karyanya, pemikiran Nasr sangat kompleks dan multidimensional. Dia mampu
membahas berbagai topik, mulai dari sains Islam, filsafat, sufisme, perenialisme,
sampai kepada masalah masalah yang dihadapi manusia dan peradaban modern saat
ini. Menyimak pemikirannya tentang konformitas Islam dengan dunia modern
misalnya, sebagian kalangan memasukkan Nasr sebagai pemikir neo-modernis
Menurut Nasr, manusia modern
saat ini tengah dilanda krisis spiritualitas, Kemajuan yang pesat dalam
lapangan ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad ke-18, kini dirasakan tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu
kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu llahi. Itu sebabnya,
kata Nasr, masalah paling akut yang dihadapi manusia modern bukan muncul dari
situasi underdevelopment (keterbelakangan), tetapi justru dari ouerdevelopment.
Lebih dari itu, semua masalah
dan krisis peradaban modern berakar dari polusi jiwa manusia yang muncul begitu
manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan
dimensi Ilahi dari kehidupannya. Dalam kenyataan itu, manusia modern mencoba
"hidup dengan roti semata”, “membunuh" Tuhan dan menyatakan
independensinya dari kehidupan akhirat. Mereka melakukan desakralisasi alam
untuk kemudian mengeksploitasinya secara sewenang-wenang. Bagaimana umat Islam
memandang hal ini?
Kaum Muslimin. kata Nasr,
terpilah menjadi dua kelompok: (a) mereka yang terjebak dalam krisis dunia
modern, dan (b) mereka yang tetap setia kepada nilai-nilai tradisional Islam.
Kelompok terakhir ini masih mengamalkan ibadah dan ritual agama, berpegang pada
hukum Tuhan. Untuk itulah, demikian Nasr, tak ada jalan lain kecuali rasa takut
akan Tuhan. Perasaan itu sebagai dasar kebajikan yang akan mengantarkan kepada
Sang Tuhan. Tentu saja, kata Nasr, hal itu harus dibarengi dengan cinta pada
Allah.
Secara jelas, Nasr memberi
jalan solusi manusi modern, yakni jalan sufisme buat merengkuh Tuhan. Mengapa
sufisme menjadi alternatif solusi? Tidakkah ada jalan lain yang lebih dari itu?
Secara perlahan kekayaan lslam yang paling dalam dan peradabannya mulai menarik
perhatian sejumlah besar pria dan wanita di Barat, pada waktu yang sama mengalirnya
arus "pembaratan” mengancam benteng peradaban Islam itu sendiri,"
jawab Nasr.
Menurut Nasr, "lslam
diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek sufisme,” karena, "itu
juga akan menunjukkan bahwa hampir seluruh ajaran lslam tentang hal-hal yang
bersifat metafisis dan gnosis (makrifah/hikmah) murni. Terutama sekali yang
terdapat dalam bidang sufisme, dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap
kebutuhan-kebutuhan intelektual manusia dewasa ini. Dalam bidang sufisme
tersebut, kehadiran dimensi spiritual tampak, ltulah yang kemudian dapat
memadamkan kehausan manusia dalam mencari Tuhan. Menurut Nasr, paham sufisme
mempunyai tempat bagi masyarakat di Barat (modern), karena mereka mulai
merasakan kekeringan batin dan kini upaya pemenuhannya kian mendesak.
Karena itu, Nasr berpendapat,
sufisme sangat penting disosialisasikan kepada Barat. Ini setidaknya terdapat tiga
tujuan. Pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari
kondisi kebingungan sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua,
memperkenalkan pemahaman tentang aspek esoteris lslam, baik terhadap masyarakat
lsam yang mulai melupakannya, maupun non lslam khususnya masyarakat Barat. Ketiga,
untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris lslam,
yakni sufisme adalah jantung ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan
tak lagi berdenyut maka keringlah aspek-aspek lain ajaran lslam.
Nasr tak melulu membela
kebenaran ajaran yang dianutnya (Islam). Dia juga memberikan kritik tajam terhadap
pemikiran-pemikiran modernis muslim seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad
Abduh, Ahmad Khan, atau Sayyed Amer Ali, penulis buku The Spirit of lslam.
Dalam pandangan Nasr, tokoh-tokoh ini adalah penyebar westernisasi dan sekularisme
di Dunia Muslim. Mereka adalah orang-orang yang mengecilkan atau bahkan menolak
unsur-unsur ajaran dan warisan pemikiran Islam yang mereka pandang tidak sesuai
dengan pemikiran dan perkembangan modern.
Modernisme yang mereka usung
memang berbeda dengan apa yang dikampanyekan Nasr. "Berbeda konsep dan
strategi." Modernisme-baru Nasr mengambil bentuk serta menghidupkan
kembali Islam tradisional". Dalam kerangka ini, Nasr memahami
tradisionalisme lslam sebagai kepenganutan yang teguh pada tradisi" yang
suci dan mengandung kebijaksanaan perenial (abadi).
Muslim tradisional, katanya,
adalah Muslim yang menerima Al Quran sepenuhnya sebagai firman Allah, baik
dalam isi maupun bentuk: mengakui kutub al sittah (enam kitab kumpulan hadis standar);
mengandung tasawuf atau tarikat sebagai dimensi batin dan jantung pematuhan
lslam; serta selalu berangkat dari realisme sesuai dengan norma-norma lslam dalam
segi politik. Dalam konteks inilah, kembali kepada ajaran Islam yang murni
menjadi kunci utama menjalani prosesi kehidupan profan menuju kebahagian
ukhrawi kelak. Inilah yang diajarkan Nasr di tengah kehidupan hedonistis
manusia sekarang ini.
Karya Nasr
Di tengah kesibukannya
mengisi ceramah dan presentasi ilmiah, baik di Barat dan Timur, Nasr terus
menyempatkan menulis buku. Baginya, buku adalah warisan paling berharga. Hingga
kini, puluhan buku sudah dia tulis, di antaranya Three Moslem Sages (Tiga
Muslim yang Bijak), ldeals and Realities in Islam, An Introductions to Islamic
Cosmological Doctrines, Science and Civilization in Islam, Sufi Essays, An
Anotated Bibliography of lslamic Science, Man and Nature. The Spiritual Crisis
of Modern Man, lslam and The Plight of Modern Man; Islamic Science, An
Illustrated Study.
Selain itu, dia juga menulis
buku The Transcendent Theosophy of Sadr ad-Din Shirazi, Islamic Art and
Spirituality, Need for a Secred Science, lslamic Life and Thought, Knowledge
and The Sacred, The Islamic Philosophy of Science, A Young Muslim's Guide to
The Modern World, dan Traditional lslam in The Modern World. Sebagian dari
karya-karyanya itu telah dialihbahasakan ke Indonesia. Hingga kini Nasr
tetap memilih menetap di Amerika. Selain di Almamaternya, dia juga mengajar di
Temple University, Philadelpia dan George Washington University, Washington DC.
Sumber : Ensiklopedi Tokoh Islam
No comments:
Post a Comment