Kehendakmu agar semata-mata beribadah, padalah Allah sudah menempatkan
dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu
(sehari-hari), maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan (keinginan)
syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah Ta'ala telah
menempatkan dirimu diantara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu,
berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi.”
Watak yang dimiliki oleh orang sadiqin,
ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat dan tidak meninggalkan akhirat
sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat adalah suatu keharusan
yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak Islami
yang akan menunjang semua hal yang menyangkut duniawi dan ukhrawi.
Kedudukan manusia dalam
tajid karena kehendak mentaati Allah Swt. lalu menanggalkan usaha (kasab) padahal
ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka
kehendak tajrid seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya.
Syahwat badani seperti ini memang
syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi
tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan
agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia,
semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah
sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus pula.
Sebaliknya, orang yang
telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia
sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar
duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal
itu. Orang
seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk
keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin dunianya dengan
rezeki yang tak dapat. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya,
karena siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya semata.
Inilah orang yang sadiqin
di atas jalannya, Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrid, karena
menempatkan duniawi sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak
ibadahnya kepada Allah Ta'ala. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal
yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang
dipilih si hamba untuk periuangan hidupnya di dunia dan di akhirat Kedudukan
dua hal ini tidak berbeda.
Karena niat yang tersembul dari perbuatan seperti itu sama
kedudukannya
yakni untuk beribadah Masalahnya sekarang adalah bagaimana seseorang menekuni
perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid lebih kuat lebih dominan, dipihak lain keinginan
duniawi lebih condong mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah juga.
Untuk menghilangkan
keraguan (was-was) dalam diri hamba yang sadiq maka harus menekuni dua
perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberi nilai lebih dan
menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan akhirat.
Meskipun demikian, perlu
dipahami bahwasanya magam tajrid yang telah dipilih seorang hamba yang sadiqin, adalah magam yang
mulia karena tidak semua orang mampu berada pada magam tersebut. Magam tajrid ini
adalah pilihan Allah atas hamba-Nya dalam hubungannya dengan peribadatan yang
khusus.
Adapun ciri-ciri hamba yang
sadiqin dan tajrid di antaranya:
1.
Mendekatkan diri kepada Allah
Swt., akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya.
2.
Mengkhususkan diri beribadah
semata-mata kepada Allah, karena Al lah swt. telah menjamin hidup duniawinya, karena ibadah
ibadah yang ia amalkan.
3.
Menempatkan diri dalam hidup
sederhana (qana’ah) dan menjaga
kehormatannya (iffah) dalam hubungan sesama manusia.
4.
Tidak menyia-nyiakan pemberian
Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rezeki) yang tak terduga,
untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang
dijalankannya.
5.
Jiwa dan ruh mereka tenang
menikmati ibadah kepada Allah Swt.
6.
Mengembalikan seluruh persoalan
yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah Swt. Serta mengerakan sesuatu perbuatan semata mata
karena izin Allah.
(Sumber : Syekh Ahmad Atailah. )
No comments:
Post a Comment