Orang Minang dikenal sebagai suku perantau yang tangguh. Mereka merantau ke seluruh pelosok tanah air bahkan tidak sedikit yang sampai ke luar negeri. Oleh karena itu, tidak aneh bila kita dapat dengan mudah menemukan orang Minang di berbagai wilayah tanah air dan mancanegara.
Merantau sendiri menurut Gamawan Fauzi, mantan gubernur Sumatera Barat yang kini menjadi menteri dalam negeri RI, merupakan proses hijrah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Kampung halaman bagi orang Minang merupakan lahan persemaian untuk menumbuhkan bibit-bibit. Setelah bibit itu tumbuh kemudian dikeluarkan dari persemaian dan ditanam di lahan lain yang lebih luas agar tumbuh menjadi besar.
Artinya untuk berkembang dan menjadi “orang”, anak Minang harus melakukan proses merantau ke daerah lain. Tujuannya agar bibit-bibit yang sudah tumbuh di persemaian alam Minangkabau itu memiliki cakrawala berpikir dan wawasan yang luas. Kalau tetap di kampung halaman, biasanya orang akan sulit berkembang karena lebih banyak bergantung kepada orang tua. “Kalau hidup di celah ketiak orang, sampai tua takkan jadi orang.” begitu kata pepatah.
Namun sesungguhnya kebiasaan merantau merupakan sebuah proses pendidikan kemandirian. Sebagian besar anak-anak Minang pergi merantau ke berbagai daerah tanpa bekal yang memadai. Mereka hanya membawa beberapa potong pakaian dan sedikit ongkos untuk sampai ke daerah tujuan. Di rantau mereka berjuang agar bisa survive dengan melakukan apapun pekerjaan yang halal.
Karantau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
Begitulah bunyi sebuah pantun Minang yang menggambarkan kebiasaan anak Minang untuk merantau karena merasa belum berguna di kampung halamannya. Untuk itu dia harus keluar “kandang” dan belajar ke negeri lain agar sukses. Kalau sudah sukses dan mandiri barulah dia bisa berbuat sesuatu untuk kampung halamannya guna membangun nagari.
Untuk itu mereka harus siap meninggalkan kampung halamannya dengan merantau ke daerah lain yang lebih maju. Karena di rantau mereka berpeluang untuk menempa diri menjadi orang yang lebih baik sehingga bisa berbuat sesuatu untuk sanak saudara dan kampung halamannya. Untuk merantau dia tidak menunggu sampai cukup modal hidup dan berbagai keterampilan yang bisa menjamin kehidupannya. Tidak sedikit diantara mereka yang merantau dengan bekal seadanya.
Kebiasaan merantau di kalangan suku Minang menurut Mu'arif(2009) antara lain dilatarbelakangi oleh:
1. Faktor budaya. Setiap pemuda di Minangkabau didorong untuk merantau guna mencari ilmu dan pengalaman di luar tanah kelahirannya.
2. Faktor agama. Islam sebagai dasar dari adat Minangkabau menyuruh umatnya untuk menjelajahi berbagai penjuru negeri untuk mencari karunia Allah dan menyebarkan agama Islam.
3. Faktor sosial. Suku Minang menganut sistim matrilineal dimana kaum laki-laki kurang mendapatkan peran di rumah tangga. Dengan merantau, kaum laki-laki lebih mendapatkan kebebasan dan lebih leluasa dalam menentukan jalan hidup dan meraih harapannya.
4. Faktor ekonomi. Dorongan mencari penghidupan dan meningkatkan status ekonomi juga mendorong orang Minang untuk merantau ke berbagai daerah.
Tradisi merantau tentu memberi dampak tersendiri bagi orang Minang. Salah satunya adalah keberadaan sebagian penduduk Minangkabau di luar kampung halamannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Naim (1973), pada tahun 1961 terdapat 32% orang Minang yang berada di luar Sumatera Barat. Sedangkan pada tahun 1971 jumlah orang Minang yang berada di luar Sumatera Barat meningkat menjadi 44%. Data ini menunjukkan bahwa hampir 50% orang Minang atau separuhnya berada di rantau.
Lalu apa yang menjadi kunci sukses orang Minang di rantau? Berikut beberapa diantaranya:
1. Kemampuan beradaptasi. Salah satu faktor yang mendukung kesuksesan orang Minang di rantau adalah prinsip yang mereka pegang, “Dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung”. Artinya dimanapun berada dia menghargai kebiasaan penduduk setempat tanpa harus kehilangan identitas sebagai orang Minang. Inilah yang membuat orang Minang bisa diterima dimanapun.
2. Para perantau Minang dikenal sebagai orang yang “cadiak pandai” (cerdik dan pintar). Karena tanpa kecerdikan dia tidak akan bisa bertahan di negeri orang. Tanpa kepintaran dia tidak akan sukses di rantau.
3. Orang Minang tidak gengsi untuk bekerja apapun asal halal. Menjadi pedagang kaki lima pun tidak jadi masalah asal bisa makan dan bertahan hidup di negeri orang.
4. Orang Minang di rantau merasakan suasana kebebasan untuk berekspresi. Mereka lebih leluasa dalam mengembangkan diri dan dituntut untuk mampu memimpin dirinya sendiri. Mereka harus memutuskan sendiri mana yang terbaik bagi dirinya. Hal ini mungkin tidak bisa mereka lakukan di kampungnya sendiri, dimana orang tua dan ninik mamak lebih berperan dalam menentukan urusan-urusan kekeluargaan.
5. Mereka memiliki motivasi yang selalu meluap-luap, yaitu keinginan untuk pulang kampung bertemu dengan orang tua dan sanak saudaranya setelah menjadi orang sukses. Kalau belum sukses dia akan terus memendam kerinduannya untuk pulang kampung. Kerinduan ini menjadi bahan bakar tersendiri untuk meraih kesuksesan.
6. Mau hidup bersahaja. Orang Minang yang merantau tidak membawa bekal yang banyak. Mereka hanya berbekal keberanian dan kenekatan dengan harapan suatu saat dia akan sukses. Oleh karena, itu mereka hidup dengan bersahaja di negeri orang.
7. Ikatan kekeluargaan dan jaringan persaudaraan di rantau turut membantu orang Minang di perantauan. Mereka tidak akan merasa kesepian karena masih ada orang yang peduli khususnya orang-orang sekampung. Sehingga di setiap daerah dapat kita temukan berbagai organisasi ikatan keluarga Minang.
8. Memegang teguh agama Islam. Hal ini didasari oleh semboyan orang Minang “Adat basandi syarak syarak basandi kitabullah” artinya adat bersendikan agama dan agama bersendikan al Quran. Inilah pedoman hidup orang Minang yang menjadi panduan kemanapun mereka merantau.***
No comments:
Post a Comment